Cendekiamanah.sch.id, Depok-Puasa merupakan ibadah yang mempunyai keistimewaan tersendiri daripada ibadah yang lain karena Allah membersamainya. Hal tersebut termaktub dalam hadits qudsi yang berbunyi “Orang berpuasa meninggalkan makananya, minumanya, dan syahwatnya karena Aku, puasa itu milik-Ku, dan Akulah yang akan memberikanya balasan”.
Itulah mengapa sampai seorang ahli puasa telah dipersiapkan surga khusus untuknya dengan nama “jannatu royan”. Jelaslah bahwa terdapat keutamaan yang sangat besar dalam ibadah yang satu ini.
Al quran mula-mula membahas kefardhuan puasa kepada seluruh orang beriman dengan sebuah contoh dari puasanya orang terdahulu pada surat Al Baqarah ayat 183. Redaksinya “seperti halnya umat sebelum kalian” merupakan bukti nyata atas disyariatkanya puasa secara umum pada masa awalnya. Namun, esensi dari ayat tersebut tertuju pada orang yang beriman. Karena fadilat serta keberkahan puasa ramadhan ada pada seseorang yang beriman serta mengerjakan puasa.
Berbeda lagi apabila orang tersebut beriman namun membatalkan puasa pada salah satu hari di bulan itu,maka qaul ulama dari sumber hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi,Abu Dawud, Nasa’I, dari Abu Hurairah bahwasanya tidak ada fadilat, kesucian, dan berkah dari bulan ramadhan.
Berbeda dengan keutamaan, kesucian,dan berkah, adab berpuasa merupakan cara yang sesuai untuk mendapatkan hal tersebut. Abdullah Sirajuddin memberikan anjuran untuk dapat menahan lisan dan seluruh anggota tubuh dari hal yang dilarang oleh syara’ supaya adab puasa dapat dijalankan dengan baik. Tidak salah bahwa puasa itu جنۃ (baca:junnah) artinya perisai atau tameng. Perisai merupakan pelindung dari segala mara bahaya tatkala melanda.
Sama dengan puasa yang akan melindungi seluruh lapisan dari serangan bahaya maksiat dan syahwat. Apabila seorang muslim tidak memasang puasa layaknya tameng dari serangan maksiat dan nafsu yang ada hanyalah ia puasa mendapatkan lapar serta menetapinya dalam keadaan sia-sia belaka.
Maksiat yang remeh seperti berbohong serta ghibah namun sebenarnya membenamkan keutamaan, kesucian,dan berkah berpuasa. Ironisnya, hal itu justru cenderung dilaksanakan oleh seluruh muslim tanpa mereka sadari telah melakukanya.
Berkomentar yang enggak-enggak terhadap kisah public figure di media sosial merupakan kategori ghibah era digital. Caranya yang mudah disertai obrolan kemana-mana dengan lawan bicara pada laman komentar ikut membuat ghibah terasa asyik sambil menghabiskan waktu untuk menunggu berbuka puasa.
Selain itu ada pembuat berita hoax maupun share berita hoax tersebut, jumlahnya cenderung banyak bahkan lebih banyak daripada ghibah pada kolom komentar media sosial. Tidak jarang seorang muslim yang sudah menjadi public figure ikut termakan kejinya hoax dalam kebohongan.
Sehingga tidak salah apabila ramadhan benar-benar sebagai bulan rahmat karena seluruh opsi ghibah dan bohong di publik ikut terkerek ke dasar karena mayoritas muslim berpuasa. Berpuasa artinya dapat menahan diri dari segala hal yang membatalkan baik secara dhohir maupun bathin.
Lantas,apakah hanya menahan diri dari makan,minum, maksiat dan nafsu sudah cukup?. Seorang yang berpuasa hendaknya dapat melanggengkan ibadah disepanjang puasa,karena dengan hal tersebut seluruh rangkaian puasa yang dilaksanakan akan lebih mendekatkan diri seorang hamba kepada Rabb nya.
Baik ibadah qolbiyah (hati), ‘amaliyah (tindakan) dan qouliyah (ucapan). Melalui hati setiap shaim (orang yang berpuasa) dapat menghilangkan seluruh penyakit hati mulai takabur, hasad, riya’ dan lainya dengan ritual seluruh rangkaian ibadah dengan khusyu’ (fokus) serta thumaninah (telaten).
Melalui tindakan, shaim dapat senantiasa mengerjakan shalat sunnah, membaca al quran dengan rutin. Demikian juga ucapan melalui lisan kita basahi dengan lumuran dzikir dan sholawat agar senantiasa lisan ini condong kepada ketaatan. Bukan berarti segalanya hanya terpaku pada ibadah itu saja serta hanya hubungan kita dengan Allah SWTmelainkan sisi horizontal layak menjadi bagian dari konsep ibadah itu.
Perlu diingat bahwa hadits shahih turut menguatkan argumentasi itu dengan redaksi “imanan wa ihtisaban”. Bukan hanya dilandasi dengan keimanan semata ketika shaim berada dalam dimensi kefardhuan puasa pada ramadhan. Melainkan juga “ihtisaban” mengisinya dengan ibadah dan ketaatan sebagai hamba sejati.
Ramadhan merupakan bulan syarat akan makna. Awal bulan merupakan rahmat, pertengahanya adalah maghfirah dan akhirnya merupakan pembebasan dari api neraka.
Oleh sebab itu, keberkahan bulan ini diikuti pula dengan rahmat Allah yang tiada terbatas, dihapuskanya segala kesalahan, diterimanya seluruh do’a. Tidak heran beberapa sahabat, ulama’ dan salafusshalihin mengisi bulan ramadhan seakan tidak ingin melewatkan sedikitpun momen bulan berkah ini begitu saja.
Imam Syafi’i tidak kurang menghatamkan al quran 60 kali diluar shalat. Sementara, Imam Zuhri mengisinya dengan memperbanyak membaca alquran dan berinfaq dengan cara memberikan makanan kepada para dhuafa’. Imam Bukhori minimal mengkhatamkan alquran sehari dua kali ketika ramadhan tiba dengan senantiasa memanjatkan do’a, karena do’a pada saat khotmil quran tidak akan ditolak.
Sedangkan Nabi Muhammad SAW diriwayatkan oleh para sahabat bahwa setiap ramadhan tiba entah berapa kali khataman yang beliau lakukan, ketika shalat datang nabi paling gemar membaca surat-surat panjang dalam alquran, begitupun juga shalat munfarid juga diluar shalatnya.
Nabi Muhammad SAW menganjurkan selain membaca al quran juga sebaiknya shaim memperbanyak membaca kalimat tahlil, istighfar, meminta surga dan dijauhkan dari neraka. Refleksi memohon surga dapat dilihat salah satunya dengan melakukan sedekah.
Karena ramadhan merupakan bulan dilapangkanya segala hal termasuk rizkinya shaim. Lantas apakah kegiatan sunah dalam rangkaian puasa ramadhan tidak termasuk dalam keistimewaan?
Sahur dan ifthar juga termasuk keistimewaan dalam puasa ramadhan. Sahur itu berkah, sampai nabi sangat menganjurkan sahur seakan-akan jangan sampai melewatkanya. Ketika sahur tiba Allah SWT dan malaikat bershalawat kepada orang yang sahur.
Ifthar juga teramat istimewa namun jangan sampai kelewatan dalam berbuka, berbuka sebaiknya diawali dengan yang manis-manis atau air putih. Sebaiknya diawali dengan do’a ifthar.
Memang puasa ramadhan mempunyai masterpiece tersendiri. Menghapuskan kesalahan, terangkatnya derajat, mendapatkan tempat yang mulia, Allah akan senantiasa mengasihinya, Penduduk langit akan senantiasa mengasihinya, Malaikat akan membacakan shalawat serta memintakan ampunan, disiapkan surga royan, diberikan kebahagian dikala ifthar. Namun, masih ada hal lain yang teramat istimewa pada ramadhan dengan diberikanya malam lailatul qadar.
Pada malam yang fenomenal itu malaikat dengan jumlah besar turun ke bumi seraya menyapa seluruh orang mu’min kecuali yang minum khamr, bermaksiat dan musyrik. Malaikat seraya memintakan ampunan atas dosa-dosa mu’min kecuali pecinta khamr, anak yang berani ke orang tuanya dan orang yang hobi memutus tali silaturahim.
Pada malam itu seorang mu’min dianjurkan untuk menghidupkanya dengan ta’at dan ikhlas. Melalui dua kerangka besar tersebut hendaknya mu’min dapat menghidupkan malam tersebut dengan maksimal. Hal itu dapat dilakukan dengan memperbanyak shalat, memanjatkan do’a serta ibadah lainya.
Rentetan dari skema besar ibadah yang telah dirancang berdasarkan kutipan alquran serta hadits yaitu: shalat tarawih, memberikan sedekah ifthar, shalat id dan puasa sunah 6 hari di bulan syawal. Tentu saja rentetan ibadah yang dirangkai pada bulan ramadhan tersebut merupakan bukti sahih atas istimewanya bulan ramadhan dari bulan yang lain.
Layaknya pagelaran event akbar dalam memperingati momen penting secara umum di masyarakat biasanya memang diselingi event pra dan pasca. Segala bentuk rutinitas bulan ramadhan seyogyanya bukan hanya dilewati begitu saja mengingat serangkaian rutinitasnya gratis tanpa berbayar. Syaratnya hanya jangan malas. (aa).